Silahkan Log In

Please enter your username and password to enter your Blogger Dasboard page!


Widget edited by Anang

Sabtu, 25 Juli 2009

Berawal dari canda…

Siapa di antara kita yang tak pernah bercanda? Setidaknya pernah kan walaupun sesekali. Kebanyakan diantara kita pasti sebenarnya sering melakukannya, cuma tidak banyak teman-teman kita yang lain yang pernah melihat kita bercanda. Canda pun telah menjadi sarana mempererat persaudaraan karena perasaan gembira yang ditimbulkannya. Canda sudah menjadi hal yang lumrah pada manusia.
Tak ada yang melarang bercanda, bahkan Rasulullah SAW pun pernah melakukannya. Rasulullah, jika bercanda selalu dengan tujuan untuk menghibur, mempererat hubungan silaturahmi, dan menyenangkan hati orang lain. Candaan Rasulullah SAW lebih berbobot, berdaya nalar dan benar.
Pernah suatu ketika seorang sahabat menanyakan dengan apa Rasulullah akan pergi ke suatu tempat. Lalu beliau menjawab, ”Dengan menunggang anak unta.” Mendengar jawaban Rasulullah SAW tersebut, sahabat itu malah heran dan terbesit dalam pikirannya bahwa mana mungkin beliau menaiki seekor anak unta. Lalu sahabat tersebut bertanya kembali, “Wahai Rasulullah SAW, mengapa engkau menaiki anak unta?”
Sambil tersenyum, Rasulullah pun menjawab “Bukankah induk unta adalah juga anak dari unta?” Dan sahabat pun akhirnya tersenyum juga. Namun canda yang sering kita temui sekarang tidaklah selalu berakibat baik. Berikut adalah pengalaman saya dengan suatu canda yang kurang “pas”.
Aktivitas saya di beberapa unit Salman tidak dapat dipungkiri menyebabkan saya harus berinteraksi dengan teman-teman lawan jenis. Kadang timbul masalah antara saya dengan mereka. Sehingga pengklarifikasian masalah untuk menghindari adanya salah paham adalah hal biasa.
Suatu ketika, saat saya sedang mengklarifikasi suatu masalah dengan akhwat A via telpon, ada akhwat B yang men-cie-cie-kan akhwat A yang sedang berbicara dengan saya. Setelah itu, saya bertanya, maksud cie-cie yang tadi itu apa? Karena sepengetahuan saya, kata-kata itu dipakai biasanya ketika ada orang sedang pacaran atau pedekate atau sedang mempercandakan dua orang lain seolah-olah ada hal-hal berkaitan dengan hubungan lawan jenis pada dua orang lain itu.
Belakangan, akhwat B yang berkata cie-cie mengklarifikasi bahwa hal yang waktu itu tidak ada maksud apa-apa. Adalah maklum bila sesama akhwat saling bercanda, bila dalam hal ini ada ikhwan yang mendengar, toh itu juga dengan saya yang sudah mengenal akhwat B tersebut sebelum saya kenal akhwat A. Sudah kenal dan maklum gitu, jadi nyantai aja.
Waktu itu, saya menanggapi kalau bercanda itu normal tapi kan kalo bercanda kaya gitu dan didengar orang lain yang tidak memakluminya serta berprasangka yang aneh-aneh, gimana coba? Ada potensi jadi fitnah kan? Saya juga pernah mengalami kejadian serupa dahulu (yap, ini bukan pertama kalinya terjadi pada saya) dan hal yang sama juga saya bilang ke akhwat yang waktu itu juga lagi bercanda.
Jadi intinya, bercanda itu normal, apalagi sama orang yang sudah dikenal. Masalahnya kan pada prasangka orang lain yang belum kenal kita. Kan bisa dikira yang aneh-aneh? “Masak aktivis ********?” Ato kalo bukan pada prasangka orang lain, bagaimana dengan yang bersangkutan? Iya kalo nyantai-nyantai aja dan dianggap angin lalu. Kalo tersimpan dalam hati dan dikipasin ama setan gimana? Nah lho..!
Kesimpulannya? Bercanda ok, tapi dimana dan kapannya itu harus diperhatikan. Karena berkata yang baik dan benar terkadang sulit untuk dilakukan. Apalagi jika ingin dikemas dengan sebuah candaan. Maka perlu sikap yang lebih hati-hati dan kesadaran yang penuh. Sebuah pepatah mengatakan, “Lebih baik menyesal karena tidak mengatakan sesuatu daripada menyesal karena telah mengatakan sesuatu.”
Kan sayang kalo bercanda yang niatnya bercanda bagus-bagus buat mempererat rasa ukhuwah malah menjadi biang timbulnya hal-hal seperti prasangka yang malah bikin setan senang. Jadi sia-sia tuh! Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Di antara tanda-tanda keislaman seseorang itu baik adalah ketika ia mampu meninggalkan hal-hal yang sia-sia bagi dirinya.”
——————————–
Meski memang sih, waktu itu saya dikomentarin sama seorang akang di unit sebagai “nggak dewasa, hal gitu kok dibahas”.
Belakangan, sikap saya terhadap canda-tipe-itu memang melunak. Kita sudah sama-sama tahu lah (bahwa itu memang sekadar bercanda) istilahnya. Saya mulai menerima, bahkan berpartisipasi dalam canda-tipe-itu. Yang penting kan tidak serius, itu apa yang ada di kepala saya, lha wong namanya aja canda kok.
Sampai akhirnya terjadilah masalah diatas. Sampai diem-dieman segala. Berangkat dari rasa tidak-ingin-ada-yang-disakiti. Saya memilih untuk memuat artikel diatas, untuk mengingatkan saya lagi bahwa, meski keluhan-keluhan seperti ini terkesan ngga dewasa, canda-tipe-itu memang belum saatnya.
Kepada teman-teman, semoga hal ini menjadi pembelajaran buat saya. Maaf dan terima kasih.

Comments :

0 komentar to “Berawal dari canda…”


Posting Komentar

Suka dengan artikel blog ini, masukkan aja emailnya...

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Komentar terakhir